Senin, 25 Februari 2008

Presiden Jual Hutan Lindung seharga Pisang Goreng

WALHI, JATAM, HUMA, SAWIT WATCH mengecam keras dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan.

Dalam peraturan itu, pemerintah telah mengizinkan pembukaan hutan atau pengalihfungsian hutan untuk kepentingan ”pembangunan” dan investor dengan tarif Rp 1,2 juta per hektar pertahun hingga Rp 3 juta per hektar per tahun, atau Rp 120 per meter hingga Rp 300 per meter!!

”Sesungguhnya sejak 4 Februari lalu, hutan lindung dan hutan produksi tak berharga lagi. Lewat Peraturan Pemerintah (PP) No 2 tahun 2008, para pemodal diberi kemewahan membabat hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan pertambangan dan usaha lain, hanya dengan membayar Rp 300 setiap meternya. PP ini menghapus fungsi lindung kawasan hutan menjadi fungsi ekonomi sesaat,” tandas Rully Syumanda, Manajer Kampanye Kehutanan Walhi Nasional di Jakarta, dalam siaran pers bersama, Selasa 16/2/2008.

Menurutnya, peraturan ini sama sekali tidak mengedepankan keprihatinan atas sejumlah bencana nasional yang menimpa Indonesia yang selama ini disebabkan salah urus dan peraturan yang sangat tidak berkeadilan ekologis. Kepekaan Presiden terhadap masalah ini sangat dipertanyakan.

Ditambahkan pula oleh Siti Maimunah, Direktur Jaringan Tambang (JATAM), PP ini memungkinkan perusahaan tambang merubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar, hanya dengan membayar Rp. 1,8 juta hingga Rp. 3 juta per hektarnya. Lebih murah lagi untuk tambang minyak dan gas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, ketenagalistrikan, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air, dan jalan tol. Harganya turun menjadi Rp. 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta.

“Itu harga hutan termurah yang resmi dikeluarkan sepanjang sejarah negeri ini. Hanya Rp. 120 hingga Rp. 300 per meternya, lebih murah dari harga sepotong pisang goreng yang dijual pedagang keliling” tambah Rully Syumanda.

“Yang menyesakkan, PP ini keluar ditengah ketidak becusan pemerintah megurus hutan. Laju kerusakan hutan sepanjang 2005 hingga 2006 saja mencapai 2,76 juta ha. Juga, disaat musim bencana banjir dan longsor yan terus menyerang berbagai wilayah. Sepanjang 2000 hingga 2006, sedikitnya 392 bencana banjir dan longsor terjadi di pelosok negeri. Ribuan orang meninggal, ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi,” tambah Edi Sutrisno dari Sawit Watch.

Bisa dibayangkan apa dampak PP ini, ditengah kegagalan negeri mengurus pemulihan kerusakan hutan, konflik tumpang tindih fungsi lahan, dan penanganan bencana lingkungan tahunan.

Yang paling bersorak, tentu pelaku pertambangan. Sudah sejak lama mereka melakukan lobby hingga ancaman. Mereka tak suka ijin pertambangannya terganjal status hutan lindung. Perusahaan asing sekelas Freepot, Inco, Ri Tito, Newmont, Newcrest, Pelsart - jelas diuntungkan PP ini, demikian pula perusahaan nasional macam Bakrie, Medco, Antam dan lainnya. Saat ini, lebih 158 perusahaan pertambangan memiliki ijin di di kawasan lindung, meliputi luasan sekitar 11, 4 juta hektar.

Keluarnya PP ini memperjelas dimana posisi kabinet SBY dan partai berkuasa saat ini, yang mestinya mengontrol sepak terjang pemerintah. Kabinet SBY dengan konsisten berada di sisi pemodal, bukan keselamatan rakyat.

“PP ini menghina akal sehat dan akan bersangkutan serius dengan segala inisitif kerjasama internasional dan perubahan iklim terkait sektor kehutanan, yang sedang menjadi perhatian dunia. Jika tak ingin kabinet SBY semakin dijauhi rakyat dan membingungkan publik internasional, PP ini harus segera di cabut.” tuntut Siti Maemunah, koordinator nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

Tidak ada komentar: